“Saat itu masih bisa makan. Seperti biasa. Bai dan rasa juga tidak hilang," terangnya.
Namun demikian, ia mengaku kesulitan bernafas. Bahkan ia harus menggunakan oksigen untuk bernafas.
"Oksigen itu penting (untuk pasien COVID-19, red). Lambat sedikit seperti mau mati," jelasnya.
Di ruang isolasi tersebut lanjut Farid, tidak terlalu luas. Ukuran tempat tidur hanya 2 X 3 dan hanya dibatasi tirai. Kamar mandi pun hanya satu.
"Sewaktu saya masuk ada 8 orang yang sudah dirawat di ruang isolasi," terangnya.
Selama 12 hari menjalani isolasi dan perawatan di RSUD Luwuk, Farid menyaksikan 7 pasien meninggal dunia akibat COVID-19. Secara tidak langsung, hal itu mempengaruhi sikologinya.
"Jelas terganggu (psikologi, red) karena kita saksikan sendiri orang meninggal di samping kita," katanya.
"Support dan doa itu penting untuk penyakit seperti ini," imbuhnya.
Selama dirawat, salah satu kerabatnya turut ikut dalam ruangan isolasi dengan memakai alat pelindung diri atau APD untuk menghindari agar tidak terjangkit COVID-19.
“Saya sudah seperti mayat hidup. Tidak berdaya. Kalau mau atur posisi harus dibantu, kalau mau paksa seperti mau putus napas,” jelasnya.
Baca Juga: Anggota TNI AD Batalyon Kavaleri 12 Mempawah Vaksinasi COVID-19
Selama 12 hari menjalani perawatan isolasi di RSUD Luwuk, ia keluar setelah pernapasan mulai membaik.
Kendati demikian, stigma sosial tetap melekat kepadanya dan keluarga di rumah. Meski pun rapid test telah membuktikan tak ada kluster baru, para tetangganya sudah jadi ketakutan lewat depan rumahnya.
“Ini jadi tantangan psikologis untuk kami sekeluarga di rumah,” jelasnya.
Selain itu, meski telah berada di rumah, bukan berarti sembuh total. Ia baru merasakan benar-benar pulih total sekitar dua bulan setelah keluar dari tempat isolasi mandiri di RSUD Luwuk.