iNSulteng - Sejumlah warga penyintas gempa, tsunami dan likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Sigi dan Donggala (Pasigala), Sulawesi Tengah (Sulteng), sudah tiga kali menjalani puasa Ramadan di hunian sementara (huntara) sejak bencana memporak porandakan permukiman warga pada 28 September 2018.
"Iya, tahun ini puasa Ramadan yang ketiga kami masih di huntara," kata salah satu warga Petobo, Kota Palu, Abdul Naim, di Petobo, Kamis 15 April 2021.
Baca Juga: Meski Tidak di Indonesia, Polisi Tetap Buru Jozeph Paul Zhang Penghina Nabi Muhammad
Merespon kondisi itu, Ketua DPW NasDem Sulteng, Atha Mahmud menyatakan progres pembangunan kembali untuk pemulihan warga di Pasigala dalam skema rehab-rekon pascabencana 28 September 2018 hingga kini tak kunjung rampung tuntas.
"Tiga tahun sudah lamanya warga korban bencana masih diliputi ketidakpastian, kapan bisa hidup di lokasi hunian tetap (Huntap) yang permanen sebagaimana janji pemerintah," kata Atha Mahmud.
Baca Juga: Lagi, KKP Ringkus Kapal Ikan Berbendera Malaysia di Perairan Selat Malaka
Kata Atha Mahmud, memasuki Ramadan ke tiga, warga korban bencana masih hidup di lokasi pengungsian.
"Ini fakta miris dan sangat mengganggu nurani kemanusiaan kita. Padahal sebelumnya di tahun 2019, Presiden Joko Widodo menyampaikan pembangunan Huntap mesti harus selesai sebelum memasuki bulan suci ramadhan 2019, agar warga korban bencana dapat menikmati bulan ramadan di hunian baru," ujar Atha.
Menurut Atha, lamanya penyelesaian masalah pembangunan huntap bagi warga penyintas, mengindikasikan bahwa ada ketidakberesan yang terus menerus dibiarkan jadi berlarut.
Baca Juga: PKH Tahap II Dicairkan, Totalnya Rp6,53 Triliun
Seolah negara melalui Pemerintah Pusat dan pemerintah daerah tidak mampu menunaikan kewajiban konstitusionalnya dalam memenuhi hak warga korban bencana.
"Saya kira, hampir tiga tahun dan tiga Ramadan ini adalah batas waktu toleran bagi Pemerintah Pusat dan daerah. Cukup sudah bermain-main dengan soal kemanusiaan. Sudahi itu, segera tuntaskan huntap yang jadi hak warga," tegas Atha.
Sedangkan kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi dengan durasi waktu dua tahun telah berakhir sesuai dengan Inpres Nomor 10 tahun 2018 tentang percepatan rehab-rekon pascabencana gempa dan tsunami di Provinsi Sulteng.
Baca Juga: Empat Hari Hilang, Dua Nelayan Asal Parigi Belum Juga Ditemukan
Menurut orang pertama NasDem di Sulteng itu, sudah semestinya ada upaya luar biasa dilakukan. Evaluasi menyeluruh dilakukan terhadap program rehab-rekon di Sulteng setelah Inpres Nomor 10 tahun 2018 berakhir masa berlakunya di tahun 2020 sebagai panduan yuridis dalam penanganan pasca bencana di Sulteng.