Harga Kedelai Meroket, DPR Sebut Kado Pahit Awal Tahun 2021 Bagi Industri Tahu dan Tempe

photo author
- Senin, 4 Januari 2021 | 20:36 WIB
Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina. Foto : Azka/Man (dpr.go.id)
Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina. Foto : Azka/Man (dpr.go.id)

iNSulteng - Para pelaku industri tahu dan tempe dinilai sangat terbebani dengan adanya kenaikan harga kedelai yang meroket dan mencapai hampir sebesar 50 persen pada awal tahun 2021 ini. 

Kenaikan harga kedelai tersebut memukul para pelaku industri tahu dan tempe, sehingga mereka memutuskan untuk melakukan mogok produksi.

Baca Juga: Advokat Perbaiki Permohonan Uji UU Cipta Kerja

Terkait hal tersebut, Anggota Komisi VI DPR RI Nevi Zuairina mengatakan bahwa adanya kenaikan harga kedelai yang hampir mencapai 50 persen menjadi kado pahit bagi industri tahu dan tempe di awal tahun 2021, mengingat di tengah pandemi Covid-19 saat ini daya beli masyarakat menurun.

“Kedelai sebagai bahan baku utama bagi industri tahu dan tempe tentu akan sangat mempengaruhi harga produk tahu dan tempe di masyarakat. Jika harga kedelai naik, maka harga tahu dan tempe di masyarakat juga akan ikut naik.

Baca Juga: Pamit, Masa Jabatan Selesai, Agus Ambo Djiwa : ASN Sambut Baik Bupati dan Wakil Bupati yang Baru

Dengan begitu kenaikan harga kedelai akan menimbulkan efek berganda, mengingat para pelaku UMKM juga menggunakan tahu dan tempe sebagai bahan baku produk makanan yang mereka jual,” ucap Nevi dalam siaran persnya yang diterima Parlementaria, Senin 4 Januari 2021.

Mengutip catatan Badan Pusat Statistik (BPS), Nevi memaparkan, impor kedelai sepanjang semester-I 2020 mencapai 1,27 juta ton atau senilai 510,2 juta dollar AS atau sekitar Rp7,52 triliun (dengan menggunakan kurs Rp14.700). Dari total impor tersebut, sebanyak 1,14 juta ton di antaranya berasal dari AS.

Baca Juga: WOW, Detik-detik Jokowi Umumkan Calon Kapoli Pilihannya, Simak !

Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, khususnya pada pasal 54 ayat (3), Pemerintah dapat membatasi impor barang dengan alasan untuk membangun, mempercepat, dan melindungi industri tertentu di dalam negeri, atau untuk menjaga neraca pembayaran dan/atau neraca perdagangan.

Tentunya hal tersebut harus diimbangi peran pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dari dalam negeri, sehingga kebutuhan kedelai untuk industri dapat dipenuhi tanpa harus impor.

Baca Juga: Diluar Prediksi, Serapan Anggaran Pemprov Sulteng Capai 92,77 Persen

“Pada tahun 1992 Indonesia pernah melakukan swasembada kedelai, saat itu produksi dari petani kedelai Indonesia mencapai 1,8 juta ton per tahun. Ini ada peluang bagi pemerintah untuk mengoptimalkan kedelai dalam negeri, sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani," ujar politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Meredanya perang dagang antara AS dan China diduga menjadi faktor penyebab kenaikan harga kedelai, sambung Nevi. Indonesia yang sebagian besar kedelainya bergantung pada AS, menjadi terdampak ketika China memborong kedelai AS. "Momentum baiknya hubungan dagang AS-China yang berakibat pada kenaikan harga kedelai harus dimanfaatkan pemerintah untuk dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri,” tuturnya.

Baca Juga: Presiden Jokowi Kembali Ingatkan Dana Bansos Jangan Dipakai Beli Rokok

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Marhum

Tags

Rekomendasi

Terkini

X