iNSulteng - ‘Politik dinasti’ menjadi topik yang hangat diperbincangkan publik menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Topik ini menjadi ramai lantaran memunculkan kekhawatiran atas potensi terjadinya praktik kecurangan selama perhelatan Pilkada 2024 mendatang.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati, menilai praktik politik dinasti membuat demokrasi di Indonesia menjadi tidak sehat.
Baca Juga: UPDATE ! Siswi SMP Jadi Korban Pemerkosaan hingga Dibunuh di Palembang, Pelaku Baru Berusia 16 Tahun
“Karena berdasarkan praktik yang selama ini terjadi, ternyata sangat tidak sehat untuk kondisi demokrasi kita,” kata Khairunnisa dalam diskusi bertajuk ‘Kecurangan Pilkada 2024: Dari Dinasti, Calon Tunggal, dan Netralitas ASN’ yang digelar di Rumah Belajar ICW, Jakarta Selatan, Selasa, 12 Agustus 2024 lalu.
Khairunnisa menuturkan, kontestasi Pilkada mestinya dapat menjadi arena pertarungan gagasan dan adu ide antar pasangan calon.
Selain itu, Khairunnisa mengajak publik dapat berkonsolidasi untuk memastikan politik dinasti tidak meluas dan menjadi tren baru di Indonesia. Hal ini demi proses demokrasi yang baik dapat tercipta dalam ajang Pilkada 2024.
Agar mengetahui lebih jauh, mari mengintip politik dinasti yang terjadi dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Tren Politik Dinasti di Indonesia
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Nagara Institute pada tahun 2020, terdapat 59 kepala daerah yang menyandang status politik dinasti sejak tahun 2005 hingga 2015.
Selanjutnya dalam kurun waktu dari tahun 2015 hingga 2018, terdapat 86 kepala daerah yang terlibat dalam praktik politik dinasti.
Pada Pilkada 2020, jumlah calon kepala daerah yang terpapar politik dinasti mencapai 124 calon.
Angka tersebut menunjukkan tren peningkatan yang signifikan, sehingga bukan tidak mungkin di tahun 2024 ini akan semakin banyak calon kepala daerah yang terlibat dalam praktik dinasti politik.
Politik Dinasti di Pilkada 2024