Anggota DPR Tak Harus Mundur Saat Ikut Pilkada 2024, Ini Bunyi Pasal yang Mengatur dan Alasannya!

photo author
- Jumat, 20 September 2024 | 01:56 WIB
Ilustrasi anggota DPR RI diduga terlibat judi online (Menpan.go.id)
Ilustrasi anggota DPR RI diduga terlibat judi online (Menpan.go.id)

Sementara itu, mengingat pentingnya tahapan penyelenggaraan Pilkada yang telah ditentukan yang ternyata membawa implikasi terhadap makna keserentakan Pilkada secara nasional, Daniel menyebutkan bawah Mahkamah perlu menegaskan kembali berdasarkan Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada yang menyatakan, “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”.

Oleh karena itu, sambung Daniel, Pilkada harus dilakukan sesuai dengan jadwal dimaksud secara konsisten untuk menghindari adanya tumpang tindih tahapan-tahapan krusial Pilkada serentak 2024 dengan tahapan Pemilu 2024 yang belum selesai.

Dengan kata lain, mengubah jadwal dapat mengganggu dan mengancam konstitusionalitas penyelenggaraan Pilkada serentak. Oleh karenanya dalil-dalil para Pemohon tersebut tidak beralasan menurut hukum.“

Dalam provisi, menolak permohonan provisi para Pemohon. Dalam pokok permohonan, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan Amar Putusan dari perkara ini.

Pendapat Berbeda

Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) Putusan Nomor 12/PUU-XXII/2024 ini.

Menurut Guntur, substansi permohonan para Pemohon hendaknya dikabulkan, sehingga ketentuan norma Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada sepanjang frasa "menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan” inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk juga calon anggota DPR, DPD, dan DPRD yang terpilih berdasarkan hasil rekapitulasi suara yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum.

Sebagai tambahan informasi, dua orang mahasiswa, Ahmad Alfarizy dan Nur Fauzi Ramadhan, mengajukan permohonan pengujian Pasal 7 ayat (2) huruf s Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi.

Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada menyatakan, “Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: … menyatakan secara tertulis pengunduran diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sejak ditetapkan sebagai pasangan calon peserta Pemilihan.” 

Dalam sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 12/PUU-XXII/2024 yang dilaksanakan di MK pada Jumat (2/2/2024), Fauzi menyebutkan pasal tersebut menyatakan pengunduran diri dari posisi anggota DPR, DPD, atau DPRD yang ingin menjadi peserta dalam pemilihan kepada daerah (pilkada).

Namun pada pasal tersebut tidak mengakomodir soal pengunduran diri bagi calon legislatif terpilih yang belum dilantik. Akibatnya, dikhawatirkan adanya konflik status antara caleg terpilih Pemilu 2024 dengan pasangan calon peserta Pilkada 2024. Bahkan jika dilanjutkan, sambung Fauzi, hal demikian bisa menghalangi proses kaderisasi dalam partai politik.

Lebih lanjut Alfarizy meneruskan alasan permohonan bahwa pelaksanaan pemilu dan pilkada yang dilakukan serentak pada 2024 ini berpotensi besar pada munculnya dual mandate bagi peserta yang ikut dalam kontestasi pesta demokrasi tersebut.

Kondisi ini menurut para Pemohon merugikan masyarakat yang pad awalnya memilih seseorang untuk mengisi satu posisi saja, justru harus menerima realitas terdapat kandidat yang dipilihnya dalam pemilu legislatif kemudian maju menjadi kepala daerah tanpa mengundurkan diri.

Dalam permohonan provisi, para Pemohon meminta MK memprioritaskan perkara ini, dan menjatuhkan putusan sebelum dimulainya masa PHPU atau sebelum dimulainya tahapan pendaftaran pasangan calon peserta Pilkada Tahun 2024.

Kemudian dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan Pasal 7 ayat (2) huruf s UU Pilkada bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “juga menyatakan pengunduran diri sebagai calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan rekapitulasi suara dari KPU.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Situr Wijaya

Sumber: dprd.bandung.go.id

Tags

Rekomendasi

Terkini

X