iNSulteng – Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin resmi mundur dari jabatannya setelah mengajukan surat pengunduran diri kepada Raja Sultan Abdullah Alam Ahmad Shah pada Senin, 16 Agustus 2021.
Mundurnya Muhyiddin Yassin membuat publik turut berkomentar, salah satunya Ahli Hukum Tata Negara Refly Harun.
Ia menanggapinya dari sisi bagaimana cara turunkan kepala Negara kemudian membandingkan dengan di Indonesia.
Baca Juga: Refly Harun: Indonesia Masih Melihat Kekuasaan itu Segala Sebuah Sumber Kenikmatan
Baca Juga: Daftar Prakerja Gelombang 18 di www.prakerja.go.id Bisa Dapat Sampai Rp10 Juta, Berikut Caranya
Mundurnya Muhyiddin Yassin dari PM Malaysia dinilai karena sadar gagal menangani Covid-19 di negaranya. Ditambah lagi tekanan oposisi dan publik yang terus menerus dikritik.
Malaysia menganut sistem parlementer yang mengharuskan seorang kepala Negara mendapat dukungan penuh dari parlemen. Jika tidak ada dukungan atau berkurang, maka secara politik akan runtuh.
"Jadi walaupun misalnya perdana menteri ngotot tidak mau mundur, tapi kalau anggota kabinetnya bubar, ya bubar juga," jelasnnya seperti dikutip iNSulteng.com dari kanal di YouTube Refli Harun pada Selasa, 17 Agustus 2021.
"Jika dia kehilangan dukungan dari mayoritas parlemen bubar juga," tambah Refly Harun.
Baca Juga: Kamu Termasuk Penerima BSU BPJS Ketenagakerjaan Rp1 Juta? Berikut Bukti Karyawan Lolos dan Tidak
Baca Juga: BSU 2021 Sudah Ditransfer ke Rekening Pekerja? Begini Cara Pastikan Penerima Dapat Rp1 Juta
Namun, sistem parlementer memiliki kelebihan, yang mana jika perdana menterinya terus mendapat kepercayaan, maka bisa berkuasa puluhan tahun. Dengan catatan harus selalu mendapat dukungan penuh dari parlemen.
Di sisi lain, yang dinilai mengerikan dari sistem perlementer, tindak pidana korupsi akan makin sulit dihukum.
"Kurangnya, negeri yang korupsinya banyak dari anggota parlemennya bisa dibeli, ya berat memang," jelasnya.