Maka dari itu, baik bagi orang tua untuk memberikan anak sejumlah tantangan. Hal ini agar mereka terbiasa menghadapinya, terutama jika mereka mengalami kegagalan.
Lebih baik bagi anak belajar dari satu-dua kegagalan, daripada mereka menjadi gagal selamanya karena terbiasa ditopang oleh orang tua.
Sistem pendidikan pun berpengaruh pada mindset anak yang akan membentuk karakter mereka nantinya, yang akan menentukan apakah mereka akan menjadi bagian dari generasi stroberi atau tidak.
Karena anak-anak yang cerdas di sekolah, belum tentu cerdas di lingkungan masyarakat.
Dikutip buku Generasi Stroberi oleh Prof. Rhenald Kasali Ph.D, pada Sabtu, 4 April 2022, kegagalan terbesar dari generasi stroberi justru terjadi pada anak-anak yang dibesarkan dalam sekolah dengan sistem menghafal.
Menghafal bukan cara berpikir yang baik. Melatih manusia berpikir adalah masalah mendasar yang perlu dipecahkan dalam sisem pendidikan nasional.
Dengan melatih pola pikir anak, anak akan didorong untuk berpikir dalam mengatasi masalah atau tantangan yang ia dapatkan di sekolah maupun di luar sekolah. Karena jika dulu 80% pusat belajar adalah sekolah, sekarang justru ada di masyarakat.
Lingkungan masyarakat atau dunia non formal mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang sangat kaya. Oleh karena itu, tak hanya di sekolah anak dapat meraih ilmu untuk membangun dan membentuk karakter serta pengetahuannya kelak.
Walaupun begitu, generasi stroberi tak selamanya berarti buruk. Generasi stroberi memiliki banyak sisi positif.
Generasi stroberi pada umumnya menyukai tantangan baru dan cepat bosan pada pekerjaan yang monoton.
Ini mendorong mereka untuk terus bekerja dan berinovasi, menciptakan gagasan yang luas yang dapat memajukan dan mengembangkan sumber daya manusia.***
Sumber: Hops.id