Penolakan itu membuat Toakala murka, ia memerintahkan pasukannya untuk menyerang kerajaan Pattiro.
Sebelum jatuh banyak korban, Raja Pattiro membuat sebuah rencana Sang Raja menyuruh Toakala untuk kembali datang melamar dengan syarat, ia harus datang bersama seluruh warganya.
Esok harinya, Toakala kembali datang melamar bersama seluruh warganya. Mereka dijamu dengan buah-buahan di sebuah gubuk terbuat dari jerami.
Saat Toakala menikmati hidangan yang tersedia, Raja Pattiro membakar gubuk itu diam-diam, seluruh pasukan Toakala tewas terpanggang.
Karena memiliki kesaktian, Toakala berhasil selamat dari kobaran api. Kera itu merasa sangat malu hingga berlari mengasingkan diri dalam sebuah gua.
Sesekali Toakala mandi di sebuah danau sambil menatap kupu-kupu yang beterbangan.
Zaman sekarang di Bantimurung, gua pengasingan Toakala dinamakan gua mimpi, gua itu sering dijadikan tempat minta jodoh.
Sedangkan Danau tempat Toakala mandi sekarang menjadi habitat kupu-kupu serta dinamakan danau Toakala.
Di zaman sebelumnya, ratusan mayat kera yang tadinya terbakar dalam gubuk, sengaja dibuang dan dihanyutkan di sungai Bantimurung.
Konon kutukan Toakala membuat seluruh sungai di tempat itu bergemuruh sepanjang zaman arti kata Bantimurung yaitu air yang bergemuruh.
Nama itu diusulkan oleh pempimpin di masanya, Karaeng Simbong tahun 1667-1669.
Bissu Daeng merasa kecantikan wajahnya mengundang banyak petaka, godaan, hingga hati yang tak tenang. Saat itu, Bissu Daeng mengutuk keturunannya untuk tidak memiliki wajah yang cantik.
Kisah legenda ini menjadi dasar dibuatnya patung kera besar di depan pintu gerbang wisata Bantimurung kabupaten Maros.***