nasional

Koperasi Desa Merah Putih: Potensi Untung Miliaran, Solusi Atasi Eksploitasi Perantara

Selasa, 27 Mei 2025 | 07:11 WIB
Menteri Koperasi Budie Arie Setiadi dituduh Korupsi dan dugaan rekaman suara ditemukan

iNSulteng - Menteri Koperasi dan UKM, Budi Arie Setiadi, baru-baru ini mengungkapkan potensi besar koperasi desa merah putih (Kopdes) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa.

Ia memaparkan bagaimana setiap Kopdes berpotensi menghasilkan keuntungan hingga Rp1 miliar per tahun, atau total Rp80 triliun untuk 80.000 Kopdes di seluruh Indonesia.

Angka fantastis ini didapat melalui strategi efisiensi dan pemangkasan peran perantara yang selama ini merugikan petani dan masyarakat.

Baca Juga: Rp80 Triliun untuk Desa! Koperasi Merah Putih dan Solusi Atasi Eksploitasi Perantara

Baca Juga: Seskab Teddy Ungkap Prabowo Support Papua Nugini untuk Gabung ke ASEAN

Data dari Kementerian Pertanian dan sumber lain menunjukkan bahwa "middleman," rentenir, dan tengkulak meraup keuntungan hingga Rp300 triliun per tahun dari desa.

Keuntungan besar ini didapat dari selisih harga yang sangat timpang antara harga di tingkat petani dan harga jual di perkotaan.

Budi Arie mencontohkan wortel yang dibeli Rp500 dari petani bisa dijual hingga Rp5.000 di kota. "Nilai orang tengah ini terlalu besar. Ini tidak adil bagi masyarakat desa dan juga masyarakat kota," tegasnya.

Dengan efisiensi jalur distribusi melalui Kopdes, Budi Arie memperkirakan sekitar 30% dari Rp300 triliun tersebut, atau sekitar Rp90 triliun, dapat diselamatkan dan dialirkan kembali ke desa. Inilah salah satu sumber utama potensi keuntungan Rp1 miliar per Kopdes.

Selain itu, efisiensi penyaluran subsidi juga menjadi kunci. Budi Arie mencontohkan subsidi pupuk sebesar Rp43 triliun.

Baca Juga: Rekor Sejarah! FLPP Pemerintahan Prabowo Naik 1.100 Persen dari Tahun Lalu, Menteri PKPK Naikan Kuota Subsidi Jadi 350.000 Rumah!

Baca Juga: Ujung Kasus Meikarta: Tujuh Tahun Penantian, Harapan Baru di Tangan Menteri PKP di Era Prabowo

Harga pupuk dari pabrik sekitar Rp2.300 per kg, namun dengan tambahan ongkos angkut, harga di pasaran bisa mencapai Rp4.800 per kg.

Selisih harga yang besar ini merugikan petani yang seharusnya menikmati subsidi secara penuh. Hal serupa juga terjadi pada subsidi LPG.

Halaman:

Tags

Terkini