iNSulteng - PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) menyebut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034 sebagai yang paling hijau" sepanjang sejarah perusahaan.
Dalam rilis resminya pada 28 Mei 2025, PLN menyebut, dari 69,5 GW kapasitas baru yang akan dibangun sepuluh tahun ke depan, 76 persen dialokasikan untuk energi terbarukan, mulai dari surya, air, panas bumi, hingga penyimpanan energi.
Di atas kertas, rencana ini terdengar ambisius. Publik pun berharap, Indonesia segera meninggalkan bayang-bayang batu bara yang selama ini identik dengan polusi dan beban kesehatan.
LBaca Juga: Memahami Perbedaan Transmisi CVT dan Manual: Pilihan Terbaik untuk Kendaraan Anda!
Namun ketika dicermati lebih dalam, ada tanda tanya besar, mengapa sebagian besar proyek energi bersih justru baru benar-benar berjalan di awal 2030-an7
Janji di Ujung Dekade
PLN membagi pembangunan pembangkit baru dalam dua fase. Lima tahun pertama (2025-2029) hanya sekitar 27,9 GW, sedangkan lima tahun kedua (2030-2034) mencapai 41,6 GW. Artinya, mayoritas energi terbarukan baru akan masuk sistem setelah 2030
Pola ini membuat kritik mengalir. Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA)menilai rencana tersebut masih terlalu ramah pada energi fosil
Hingga 2034, pembangkitan listrik dari batu bara dan gas justru diproyeksikan naik lebih dari 40 persen dibanding 2024. Bahkan, ada tambahan 16,6 GW pembangkit fosil baru.
"Ketergantungan pada fosil tetap berlanjut," tulis laporan CREA dalam laman resminya, seperti dikutip pada 24 September 2025.
Pemerintah sejatinya telah menggembar-gemborkan Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar atau setara dengan Rp 320 triliun.
Kesepakatan ini mencakup janji puncak emisi sektor listrik pada 2030 dan bauran energi terbarukan 44 persen pada tahun yang sama.