iNSulteng - Para arkeolog dari BPCB Jawa Timur pada Kamis, 21 Oktober 2021 mengumumkan telah menemukan bangkai Kapal Van der Wijk yang tenggelam di perairan Brondong Lamongan tahun 1936.
Memori kita pun langsung berbalik sebuah karya sastra dari ulama Indonesia, Haji Abdul Karim Malik Amrullah atau Buya Hamka.
Novel berjudul "Tenggelamnja Kapal Van der Wijk" ditulis Buya Hamka dua tahun setelah kapal itu tenggelam.
Baca Juga: Arkeolog Temukan Dugaan Lokasi Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck di Laut Jawa
Baca Juga: Kapan Menjadi Umat yang Terbaik, Ustad Abdul Somad Menjawab !
Disarikan dari ensiklopedia.kemdikbud.go.id, novel itu merupakan cerita bersambung dari penulis yang dimuat di koran Pedoman Masyarat dengan rubrik "Feuilleton". Oleh Syarkawi cerita bersambung itu dikumpulkan dan diterbitkan di Medan tahun 1939.
Pada tahun 1963 novel itu dicetak ulang tujuh kali dengan penerbit berbeda-beda. Hingga kini sudah puluhan kali novel itu dicetak ulang, juga oleh penerbit berbeda-beda.
Tenggelamnya Kapal Van der Wijck mengisahkan cinta tak sampai yang dihalangi oleh adat Minangkabau yang terkenal kukuh.
Diceritakan bahwa Zainuddin, seorang anak yang lahir dari perkawinan campuran Minang dan Makassar, tidak berhasil mempersunting gadis idamannya, Hayati, karena ninik-mamaknya menganggap Zainuddin tidak jelas asal-usulnya.
Zainuddin kemudian menjadi pengarang. Dalam suatu kecelakaan gadis kecintaannya meninggal dalam kapal yang ditumpanginya.
Dari inti cerita itu dapat dikatakan bahwa novel Hamka ini mengetengahkan masalah adat yang mengatur jodoh seseorang.
Baca Juga: Bolehkah Bergurau Atau Becanda Berlebihan?, Ustad Abdul Somad Jelaskan
Baca Juga: Perbuatan Baik Akan Mendapatkan Pahala Yang Setimpal, Ustad Abdul Somad Jelaskan
Dalam novel Hamka ini alur cerita terbangun melalui peristiwa-peristiwa yang terungkap lewat surat-surat. Ada 35 surat yang ditulis oleh tokoh-tokohnya. Tokoh dalam novel itu saling berkirim surat untuk mengemukakan berbagai perasaan dan pengalamannya.
Misalnya, Hayati berkirim surat kepada Zainudin enam kali, Zainudin berkirim surat kepada Hayati sembilan kali, dan Hayati kepada Chadijah lima kali.