iNSulteng - Kebijakan Pemerintah Kota Serang yang melarang restoran, rumah makan, warung nasi, dan kafe berjualan pada siang hari selama bulan Ramadan, mendapat sorotan dari Juru bicara Kementerian Agama Abdul Rochman. Dia menilai, kebijakan Pemerintah Kota Serang tersebut terlalu berlebihan.
"Kebijakan ini tidak sesuai dengan prinsip moderasi dalam mengamalkan ajaran agama secara adil dan seimbang, dan cenderung berlebih-lebihan," ujar Abdul dalam keterangannya di Jakarta, Kamis.
Baca Juga: Udin Tewas Setelah Ditembak di Dada Bagian Kanan
Menurut dia, larangan itu membatasi akses sosial masyarakat dalam bekerja atau berusaha. Terlebih kehadiran rumah makan dan sejenisnya dibutuhkan bagi mereka yang tak berkewajiban menjalankan ibadah puasa.
Dia menegaskan larangan berjualan yang tertuang dalam kebijakan tersebut juga diskriminatif dan melanggar hak asasi manusia terutama bagi orang atau umat yang tidak berkewajiban menjalankan puasa Ramadhan, aktivitas pekerjaan jual beli, dan berusaha.
Baca Juga: Pengadaan Masker Rp3 Miliar di Pilkada Banggai, Anang: Sisa Masker Tersimpan di KPU
Ia meminta kepada otoritas setempat untuk mengkaji ulang larangan tersebut. Sebab, yang mesti dikedepankan yakni sikap saling menghormati dan menghargai baik bagi mereka yang berpuasa maupun tidak berpuasa.
"Saya harap ini bisa ditinjau ulang. Semua pihak harus bisa mengedepankan sikap saling menghormati. Bagi mereka yang tidak berpuasa, diharapkan juga bisa menghormati yang sedang menjalankan ibadah puasa. Sebaliknya, mereka yang berpuasa agar bisa menahan diri dan tetap bersabar dalam menjalani ibadah puasanya," kata dia.
Baca Juga: Izinkan ASN Laporkan Atasannya, Tjahjo Kumolo : Tidak Boleh Ada Intervensi
Sebelumnya, Pemerintah Kota Serang, mengeluarkan Iimbauan Bersama Nomor 451.13/335-Kesra/2021 tentang larangan restoran, rumah makan, warung nasi, dan kafe berjualan pada siang hari selama bulan Ramadan.
Jika pihak restoran atau rumah makan nekat beroperasi pada waktu yang dilarang, maka terancam sanksi berupa hukuman 3 bulan penjara. Tak hanya itu, pengelola juga bisa terkena denda maksimal Rp50 juta. ***
Reporter: Andi Ardin