iNSulteng - Belakangan heboh kolam air muncul di kawasan tambang emas Poboya, Kecamatan Mantikuore, Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Pemerhati lingkungan Kota Palu, Muhamad Nur Sangaji angkat bicara terkait vidio yang memperlihatkan adanya kolam air bekas galian yang berada di lokasi pertambangan Poboya.
“Saya belum melihat vidio dan mengetahui secara pasti apakah kolam air tersebut murni keluar dari tanah hasil galian atau buangan limbah cair proses pertambangan (Teling),” ungkapnya melalui via telepon genggam, Jumat 4 Agustus 2023.
Namun katanya, hal tersebut berpotensi menimbulkan masalah. Misalnya limbah cair hasil proses pertambangan dikumpulkan dalam satu wadah kemudian verivikasinya buruk dan meluap, merupakan sebuah kesalahan besar.
“Hal itu merupakan suatu kesalahan yang luar biasa. Itu sangat berbahaya,” tegasnya.
Jika hal itu merupakan hasil dari proses penggalian tanah dari aktifitas pertambangan sehingga mengakibatkan keluarnya air dari dalam tanah, tidak menutup kemungkinan sudah terkontaminasi dari limbah cair tersebut. Karena wilayah tambang merupakan area perbukitan.
“Contohnya seperti di Kabupaten Buol. Dimana terdapat sebuah pohon saat tumbang, maka keluarlah air yang besar sekali di kawasan tersebut. Ternyata pohon dibawah pohon itu ada mata air,” urainya.
Dosen di salah satu Universitas di Kota Palu itu menyebut perlu adanya pemeriksaan izin dokumen terkait analisis dampak lingkungan pertambangan (AMDAL) yang dilakukan oleh PT. Citra Palu Mineral (CPM) di Poboya.
“Perlu diperiksa terkait analisis dampak lingkungannya. Apakah analisisnya benar atau tidak. AMDAL bisa dievaluasi lima tahun sekali. Jika tidak ada izin lingkungannya, maka perusahaan tersebut melakukan pelanggaran. Izin lingkungan boleh dikeluarkan jika projek tersebut sesuai dengan penetapan rencana tata ruang,” tandasnya.
Menurut Nur Sangaji, adanya kolam air bekas galian di tambang Poboya, akan mencemari lingkungan. Karena paling berisiko tercemar adalah air permukaan hasil dari proses penggalian pertambangan.
“Air tanah itu terbagi dua. Ada air tanah dalam (ground water) dan air permukaan (water surface) kedalamannya hanya mencapai 10 hingga 20 meter saja. Paling berisiko tercemar adalah air permukaan yang umumnya digunakan masyarakat untuk kepentingan konsumsi dan lain sebagainya. Limbah Teling dari pertambangan itu sangat berbahaya. Apalagi jika menggunakan Merkuri,” pungkasnya.***