iNSulteng - Industri ritel Indonesia tengah menghadapi guncangan.
Alfamart, minimarket yang selama ini identik dengan keberhasilannya, secara mengejutkan mengumumkan penutupan lebih dari 500 gerai sejak awal 2024 hingga kuartal pertama 2025.
Penutupan ini mencakup Alfamart, Alfamidi, Lawson, dan Dan Palusdan, mayoritas berlokasi di Jabodetabek area dengan biaya sewa yang sangat tinggi.
Baca Juga: Koperasi Desa Merah Putih: Potensi Untung Miliaran, Solusi Atasi Eksploitasi Perantara
Baca Juga: Rp80 Triliun untuk Desa! Koperasi Merah Putih dan Solusi Atasi Eksploitasi Perantara
Lalu apakah ini pertanda kehancuran ritel modern Indonesia? Jawabannya tidak sesederhana itu.
Bukan Krisis, Tapi Strategi Selektif
Presiden Direktur AMRT (PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk), Anggarahan Hans Prawira, menjelaskan bahwa penutupan gerai bukan keputusan gegabah.
Kenaikan biaya sewa yang tidak sebanding dengan pertumbuhan penjualan, serta penolakan perpanjangan kontrak oleh beberapa pemilik properti, memaksa AMRT untuk melakukan perampingan.
Namun, ini bukan indikasi perusahaan terpuruk. Sebaliknya, ini adalah strategi efisiensi sebelum ekspansi yang lebih terarah.
Ekspansi Berkelanjutan dan Dividen Jumbo
Di tengah penutupan ratusan gerai, Alfamart justru membuka lebih dari 1.400 gerai baru pada tahun 2024, mencapai total 20.120 unit hingga akhir tahun.
Target pembukaan 1.000 gerai baru pada tahun 2025 pun telah ditetapkan, tetap berfokus pada wilayah urban dengan potensi pertumbuhan tinggi.
Yang lebih mengejutkan, Alfamart masih mampu membagikan dividen sebesar Rp 1,4 triliun (sekitar 45% dari laba bersih 2024) kepada pemegang saham, menunjukkan kepercayaan manajemen terhadap prospek jangka panjang perusahaan.